Minggu, 29 November 2009

sejarah bumi mekongga


PERSEBARAN PENDUDUK TAHAP AWAL DAN TERBENTUKNYA KERAJAAN MEKONGGA
Penduduk wilayah Kolaka pada tahap awal dikenal To Unenapo yang merupakan penduduk mayoritas. Selain itu terdapat pula suku yang memiliki populasi relatif kecil seperti: To Laiwoi dan To Aere yang hidup secara berkelompok berdasarkan etnisnya di wilayah Kecamatan Pakue, Lasusua, Mowewe, Uluiwoi, Ladongi, dan Lambandia.
Suku bangsa tersebut tersebar di wilayah Kolaka melalui gerak persebaran suku-suku yang ada di Sulawesi Bagian Tangah, dan Bagian Timur yang berpusat di Danau Matana, Mahalona dan Towuti. Setelah beberapa lama bermukim di wilayah tersebut, kemudian mereka berpencar ke wilayah-wilayah seperti: Luwu Sulawesi Selatan, Mekongga, Konawe, Poso, dan Bungku. Nenek moyang Orang Mekongga kemudian membentuk perkampungan yang disebut Napoaha (napo=pusat pemukiman; aha=luas/besar), diantara pemukiman merek aterdapat diantara Lalowa dan Andolaki.
Sampai sekarang ciri persamaan dari etnis-etnis yang ada di wilayah ini masih nampak dengan jelas baik dari segi bahasa maupun pakaian adat seperti nampak dengan jelas ketika terjadi pentas budaya dalam festival internasional di Masamba Desember 2003. Jenis tarian dan pakaian adat secara jelas memperlihatkan adanya persamaan di antara mereka, khususnya dari corak dan warna pakaian adat/tarian tradisional yang mereka tampilkan.
To Moronene dan To Laiwoi merupakan penduduk yang mula-mula mendiami daerah Unenapo (Kolaka) yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Mekongga. Informasi mengenai To Laiwoi ini menyatakan bahwa di aliran Sungai Konaweha bagian hulu sampai ke Pakue (Kolaka Utara) dahulu dihuni oleh orang To Laiwoi di wilayah Kodeoha, jumlah mereka relatif kecil yang berdiam di pedalaman Kecamatan Rate-rate, Ladongi, Mowewe, dan sebagian di wilayah Kecamatan Pakue dan Lasusua. Sedangkan To Moronene di pedalaman Wundulako dan Watubangga.
Istilah Laiwoi dalam Bahasa Mekongga dari kata To = orang, La = batang/pinggir, Iwoi = air. Artinya orang yang hidup di batang/pinggir air. Disekitar itu dulunya juga hidup To Aere (Bahasa Moronene= orang hidup di sekitar air). To Laiwoi dan To Aere yaitu orang di air (hidup di dekat sungai) adalah penduduk pertama Daerah Kolaka dan Kendari (Bhurhanuddin, 1981: 126). Termasuk Ladongi, dan Lambandia. Kelompok etnis tersebut hidup di pedalaman.
Pemaparan di atas dapat ditafsirkan bahwa kata To Laiwoi berasal dari kata To “Orang” La atau Ala = Sungai “ aliran” iwoi berarti air. Jadi To Laiwoi adalah orang yang mendiami aliran sungai, aliran sungai yang dimaksud yaitu hulu sungai Konaweha. To Laiwoi dan To Aere, hidup secara berkelompok di pedalaman Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka (Kecamatan Unaaha Kabupaten Konawe Kecamatan Pakue, Lasusua, dan Mowewe Kabupaten Kolaka) (Nsaha, 1978: 8).
Eksistensi To Laiwoi/To Laiwuri diungkapkan pula oleh Tarimana (1985: 37) bahwa penduduk asli yang berdiam di wilayah Kerajaan Mekongga atau Kabupaten Kolaka sekarang menamakan dirinya Orang Unenapo, mereka yang berdiam di wilayah Kerajaan Konawe, yakni bagian wilayah Kabupaten Konawe sekarang menamakan dirinya Orang Konawe atau Orang Tolaki, dan bagian utara Kerajaan Konawe dan bagian utara Kerajaan Mekongga menamakan dirinya To Laiwoi.
Orang Mekongga berasal dari satu rumpun dengan penduduk di sekitar Danau Matana dan Danau Mahalona, selanjutnya terjadi migrasi kemudian sampai di Alaaha, kemudian sebagian dari kelompok mereka melewati Gunung Watukila atau Pegunungan Mekongga, kemudian membelok ke arah barat dan sampai di daerah Unenapo. Toono Dadio selaku penduduk baru belum ada marga maupun sukunya. Setelah tinggal beberapa di daerah ini kemudian terbentuk beberapa wilayah pemukiman kecil, seperti: Alaaha, Rahambuu, Ueesi, Parabua, dan Sanggona, kelompok masyarakat tersebut dikepalai seorang yang disebut Owati (penguasa), daerah kekuasaannya diberi nama Wonua Unenapo.
Sumber lain mengungkapkan bahwa nenek moyang Orang Mekongga bermigrasi dari Danau Mahalona kemudian mereka tersebar melalui Sungai Lasolo, kemudian mereka menetap di daerah Wawolesea Pesisir, tepatnya di Matarape (Matatehae) mereka berkembang sekitar 7 generasi, tetapi akibat datangnya gangguan bajak laut, mereka menyelamatkan diri menyingkir ke daerah lembah aliran sungai Landawe.
Pada tahun 1906 orang Belanda datang di daerah ini, pada saat itu ada suatu peristiwa yaitu seorang pimpinan (anakia) mereka wafat kemudian opsir Belanda bertanya kepada seseorang: suku apa yang menghuni daerah ini? Karena kesalahan persepsi seorang dari mereka menjawab dahomiano ntawe” artinya: ada anakia (bangsawan) yang wafat, kemudian Orang Belanda mencatat bahwa orang yang menghuni daerah ini adalah Lantawe atau orang Landawe. Kemudian dalam aksen Mekongga berubah menjadi Landawe dikenal sampai hari ini. To Landawe artinya orang Landawe dari kata “tawe” dalam bahasa Tolaki berarti jasad orang yang telah meninggal.
Asa-Usul Nama Mekongga
Sebelum dikenalnya nama Mekongga wilayah ini ada yang menyebutnya Wonua Unenapo (negeri Orang Unenapo), Wonua Kongga (negeri yang pernah mendapat gangguan burung raksasa), Wonua Wiku (negeri belut) dan Wonua Sorume yang berarti daerah penghasil angrek. Dalam perkembangan selanjutnya, suatu peristiwa yang menimpa wilayah ini yaitu adanya gangguan keamanan dari seekor burung elang besar, yang dalam Bahasa Mekongga disebut Kongga Owose/Konggaaha. Di tengah-tengah penderitaan penduduk yang ada di daerah ini terjadilah suatu peristiwa yang ajaib, karena tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang tidak diketahui asal-ususlnya (dalam tradisi lisan disebut: melayang dari udara yang turun dari langit menaiki sarung kesaktian dan lengkap dengan keris emas di pinggangnya). Ia menyebut dirinya Larumbalangi, orang banyak menyebutkan To Manuru atau Sangia Ndudu artinya orang yang turun dari langit (atas). Ia adalah turunan dewa-dewa yang dalam Bahasa Mekongga disebut Sangia Ndudu.
Orang banyak kemudian datang menyembah dan menghormatinya karena ia adalah seorang sakti dan turunan dewa-dewa (Sangia). Kedatangannya di Unenapo dianggap suatu hal istimewa karena ia telah diutus oleh Sangia Ombu Samena untuk melepaskan orang banyak dari malapetaka karena keganasan burung Konggaaha.
Orang banyak kemudian menghadap dan menyampaikan keluh kesah, penderitaan mereka selama dalam gangguan Konggaaha. Larumbalangi menerima permohonan orang banyak dan berjanji akan menghilangkan malapetaka itu dan melepaskan rakyat dari penderitaan dan kesengsaraan dengan membunuh Kongga Owose itu. Sebaliknya Larumbalangi meminta kepada orang banyak untuk mau bersatu dalam mengahadapi upaya pemusnahan Konggaaha. Orang banyak disuruhnya mengambil buluh, yaitu sejenis bambu yang diruncing. Dalam bahasa Mekongga disebut O Sungga. Dalam waktu singkat, maka tersedialah Sungga, selanjutnya disuruh pancangkan di tanah, pada tempat yang diperkirakan mudah dilihat oleh Konggaaha dari udara Osu Mbegolua.
Di tengah-tengah pancangan Sungga ini, berdiri seorang tamalaki yang bernama Tasahe, sebagai umpan untuk menarik Konggaaha, bila ia datang mencari mangsanya. Menurut tradisi lisan bahwa Konggaaha ini tinggal di Puncak Gunung di hutan rimba di Hulu Sungai perbatsan Wundulako dengan Ladongi, tidak jauh dari lokasi Osambegolua dan Gua Watuwulaa. Orang selalu melihat Konggaaha ini datang dari arah ini, setelah persiapan untuk melawan dan membunuh Konggaaha ini rampung, maka tiba-tiba terdengarlah bunyi menderuh-deruh dari jauh. Bunyi ini adalah bunyi kepak sayap burung Konggaaha. Setiap laki-laki disuruh bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Masing-masing dengan alat senjatanya, seperti tombak dan taawu (parang). Dari besarnya burung ini, maka cahaya matahari terlindung olehnya dan merupakan suatu bayangan besar di bawahnya. Larumbalangi sendiri pergi berdiri di pucak Bukit Osumbegalua, siap memberi perintah kepada seluruh laki-laki untuk menyerbu Konggaha. Seorang Tamalaki bernama Tasahea diperintahkan oleh Larumbalangi masuk di tengah-tengah bambu runcing sebagai umpan Konggaaha, Larumbalangi mengorganisir warga untuk siap memberi perintah kepada segenap masyarakat, laki-laki, perempun, dan anak-anak masuk bersembunyi di Gua Watuwulaa.
Biasanya dalam keadaan demikian orang banyak akan lari bersembunyi dengan gemetar ketakutan, tetapi saat ini keadaan menjadi lain karena melihat bahwa Larumbalangi ini sendiri yang akan menghadapinya dengan penuh keberanian tanpa ragu-ragu karena yakin bahwa ia akan berhasil melaksanakan tugas dan kewajiban yang sudah dipercayakan oleh orang banyak, sebagai suatu tanggung jawab yang maha berat tetapi sangat mulia.
Ketika Konggaaha melihat ada orang di bawah, maka ia melayang-layang berputar-putar untuk melihat mangsa mana yang akan disambarnya. Tetapi melihat ada seorang manusia (Tasehea), maka dengan cepat Konggaaha menyambar turun bersamaan dengan tertikamnya badan Konggaaha dengan Osungga, karena merasa sakit, maka Konggaaha terbang kembali ke udara.
Darahnya bercucuran dari luka-lukanya. Konggaaha melayang-layang berkeliling di udara. Menurut kisah di mana darah burung Konggaaha itu bercucuran maka tanahnya menjadi merah seperti di Pomalaa. Karena luka parah, maka tenaga Konggaowose berkurang dan akhirnya ia jatuh mati di hilir sungai dekat Usambegalua yang kemudian dinamai Lamekongga.
Terbentuknya Kerajaan Mekongga
Terbentuknya Kerajaan Mekongga terkait dengan tradisi lisan tentang kedatangan Sangia yaitu orang dari atas (langit) yang berarti bukan orang ddari daerah setempat atau bukan orang kebanayakan, ia dianggap orang hidup di satu dunia lain, yaitu dari luar daerah, masyarakat setempat menyebut Iwawo Sangia atau kediaman dewa-dewa. Mereka yang berasal dari dunia ini, disebut Sangia (Sanghiang). Generasi mereka ini disusun menurut waktu pemerintahan sebagai berikut:
Pemerintahan Anakia Larumbalangi (Sangia Ndudu)
Pemerintahan Anakia Lakonunggu (Sangia Bubundu)
Pemerintahan Anakia Malanga (Sangia Menggaa)
Pemerintahan Anakia Lagaliso (Sangia Mbendua)
Pemerintahan Anakia Lamba-Lambasa (Sangia Rumbalasa)
Pemerintahan Bokeo Lombo-lombo (Sangia Sinambakai)
Pemerintahan Bokeo Teporambe (Sangia Nilulo)
Pemerintahan Bokeo Laduma (Sangia Nibandera)
Pemerintahan Bokeo Lapobandu (Sea i Kapu-kapu)
Pemerintahan Bokeo Lasipala (Sea i Puuduria)
Pemerintahan Bokeo Lasikiri (Sea i Puuduria)
Pemerintahan Bokeo Pobe (Sea i Lombosia)
Pemerintahan Bokeo Mburi (Perempuan) (Sea i Wundulako)
Pemerintahan Bokeo Bioha (Sea iWundulako)
Pemerintahan Bokeo Latambaga 1906-1932 (Sea i Kambobaru)
Pemerintahan Bokeo Indumo 1932-1945 (Opu Daeng Makkalu).
Pemerintahan Bokeo Guro1945 (Opu Daeng Makkalu).
Pemerintahan Bokeo Puwatu 1932-1945 (Opu Daeng Makkalu).
Berapa lama mereka itu memerintah tidak diketahui dengan pasti, karena belum ada petunjuk atau bukti-bukti yang ditinggalkan. Manusia yang tadinya hidup dalam ketakutan, kekacauan atau penderitaan, kemudian hidup dengan tentram, aman dan bahagia. Manusia bertambah banyak dan penyebarannya makin melebar mendiami daerah yang luas itu, terutama menyebar ke Selatan dan mendiami pantai-pantai sepanjang Teluk Bone. Setelah pemerintahan Indumo masih ada dua Bokeo yang memerintah, namun dalam konteks yang sedikit berbdeda karena lebih pada aspek adat-istiadat Kerjaan Mekongga, yaitu: (1) Pemerintahan Bokeo Guro, dan (2) Pemerintahan Bokeo Puwatu.
1. Pemerintahan Larumbalangi
Sebelum datangnya Larumbalangi sebagai Sangia, maka Wonua Unenapo atau Wonua Sorume (nama wilayah Mekongga sebelum terbentuk kerjaan) ini terbagi atas wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Toono Motuo. Toono berarti orang, Motuo berarti tua. Toono Motuo berarti yang dituakan dan sebagai penguasa atas suatu wilayah. Terbunuhnya Konggaaha ini sangat menggembirakan dan membahagiakan rakyat banyak. Berita ini segera tersebar dimana-mana.
Maka para Toono Motuo lalu bersepakat untuk mengangkat Larumbalangi sebagai pemimpin tertinggi mereka, sebagai raja yang berarti yang menguasai negeri (wonua), menurut arti dalam Bahasa Mekongga. Orang banyak lalu berkumpul dan menghadap Larumbalangi untuk menyatakan hasrat dan keinginan orang banyak, lalu pimpinan wilayah diterima oleh Larumbalangi dengan ketentuan bahwa:
Wilayah-wilayah yang terpisah-pisah itu hendaklah menjadi satu kesatuan yang kokoh dan kuat.
Orang banyak dari berbagai etnis hendaklah selalu bersatu dan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpeceh belah, seperti yang sudah nyata, didalam usaha menewaskan musuh besar yaitu Konggaaha.
Bahwa ia sebagai pimpinan orang banyak, Raja Mekongga sangat dihormati/dijunjung tinggi.
Maksudnya urusan pemerintahan, baru disodorkan kepadanya kalau telah dimatangkan oleh orang banyak atau semuanya hendaklah atas persetujuan orang banyak barulah ia akan melaksanakannya.
Ia menyatakan juga, bahwa ia diangkat menjadi pimpinan (Anakia) adalah atas kehendak orang banyak dan bukan karena dipaksakan olehnya melalui suatu kekerasan.
Persatuan orang banyak (mepokoaso), sehingga merupakan suatu kesatuan daerah (Wonua) yang mempunyai wilayah yang tertentu diberi nama Wonua i Mekongga, demi untuk memperingati hubungan dengan peristiwa Konggaaha.
Pemberian nama Mekongga itu diharapkan agar generasi masa mendatang akan teringat selalu bahwa daerah yang pernah diserang ats keganasan Konggaaha dan terpecah belah karena adanya wilayah-wilayah yang diakui oleh para Toono Motuo sudah bersatu, menjadi satu kesatuan sehingga merupakan satu kesatuan bersama. Hanya dengan melalui persatuan dan kesatuan ini dapatlah dilakukan suatu perbuatan besar, demi keselamatan, kemaslahatan orang banyak.
Menurut tradisi lisan pada masyarakat Tolaki bahwa ada tujuh buah kerajaan besar ialah: (1) Mekongga, (2) Konawe, (3) Luwu, (4) Bone, (5) Gowa, (6) Ternate, dan (7) Sumbawa. Ketujuh buah kerajaan ini memiliki hubungan kekeluargaan dari leluhurnya. Dalam hubungan bilateral dan multilateral Datu Luwu selalu dianggap sebagai saudara tetrua diantara raja-raja tersebut.
Sebelum Kerajaan Mekongga terbentuk, ditempat ini terjadi suatu kumpulan orang banyak yang dikepalai oleh seorang kepala suku yang disebut Owati, yang artinya penguasa. Daerah kemudian diberi nama Wonua Unenapo/Wonua Sorume yang artinya Negeri Anggrek. Menurut tradisi lisan bahwa kalau bibit padi ditanam bersama-sama padi lainnya, maka padi akan berisi (panen) berhasil. Bibit padi dibungkus pada takinawo yaitu kain kulit kayu barsama dengan dengan daun sanggula, sejenis daun yang dipakai untuk mengharumkan pakaian wanita. Dahulu tempat menyimpan benda-benda itu adalah pada Bungge-bungge (peti). Wanita-wanita memakai daun Sanggula itu pada sanggulnya. Mungkin nama Sanggula itu berasal dari kata sanggul atau sebaliknya. Dengan memakai daun itu maka rambut mereka selalu berbau harum. Benda-benda alat makan Raja/Bokeo, seperti: piring, barang pecah belah, dan kuningan.
Laduma adalah Raja (Bokeo) yang ketiga di Mekongga, dan raja yang pertma masuk Islam pada akhir abad XVII masehi, ia mempunyai beberapa nama:
Waktu kecil ia diberi nama Kinokori, artinya pemersatu yang dihormati.
Ia juga diberi nama Lelemala, sesudah besar agar diberi nama Sambaulu.
Ketika ia masuk Isalam, ia diberi gelar Laduma. La berarti laki-laki dan Duma berarti Jumat atau orang yang melaksanakan shalat Jum’at.
Ketika wafat ia diberi gelar Sangia Nibandera (penerima bendera perang dari Luwu).
2. Lakonunggu
Ketika Larumbalangi sudah tua pada suatu hari datanglah guntur kilat sambar menyambar disertai kabut tebal menyebabkan orang banyak heran dan ketakutan, sesudah reda kembali ternyata bahwa Larumbalangi telah lenyap, di tempat ia berdiri tampaklah seorang laki-laki gagah tak dikenal sebelumnya. Semua orang bertambah heran dan merasa takjub dibuatnya. Sebelum keheranan orang banyak hilang, maka yang tak dikenal itu memperkenalkan dirinya dan mengatakan, bahwa ia bernama Lakonunggu (dari langit). Adapun ayahnya Larumbalangi telah kembali Iwawo Sangia dan ia ditugaskan untuk melanjutkan tugas dan kewajiban ayahnya, demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat yaitu Tono Dadio yang artinya rakyat banyak.
Beberapa lama Larumbalangi memerintah tak diketahui mendengar itu orang banyak bersuka cita karena ia akan meneruskan tugas ayahnya yang telah pergi dan tak akan kembali lagi. Lakonuggu diterima dari dan ia diangkat Anakia oleh orang banyak. Demikian Lakonunggu menjadi Anakia, sehingga tiba pula saat dan ketikanya ia harus mengakhiri tugas tanggungjawabnya memimpin orang banyak. Apa yang terjadi pada Larumbalangi terjadi pula pada Lakonunggu. Guntur dan petir, halilintar serta kabut, menutupi Lakonunggu.
3. Melanga
Nama Melanga diambil dari proses kedatangannya di bumi Mekongga menurut tradisi lisan terjadi ketika dalam keadaan suasana mendung tiba-tiba terjadi kilat sehingga suasana menjadi terang-benderang dalam Bahasa Mekongga berarti Melanga, setelah mangkat dia digelar Sangia Menggaa.
4. Lagaliso
Sesudah semuanya reda, maka Lakonunggu hilang dan seorang lainnya yang tak dikenal muncul lagi ditengah-tengah rakyat banyak. Ia memperkenalkan dirinya dan menyebut namanya Lagaliso dan ia adalah anak dari Lakonunggu dari istrinya yang ada Iwawo Sangia. Ia ditugaskan untuk meneruskan tugas dan tanggung jawab ayahnya Lakonunggu menjadi Bokeo. Keadaan rakyat menjadi lebih baik hidupnya, maka dengan tak diragu-ragukan, Lagaliso diterima dan diangkat oleh orang banyak sebagai Anakia Iwuta Mekongga.
Beberapa lama Lagaliso memerintah, tidak diketahui dengan pasti, Lagaliso lalu kembali ke Iwawo Sangia. Kemudian datanglah anaknya yang bernama Lamba-lambasa atau Rumbalasa yang menyatakan bahwa ia disuruh ayahnya Lagaliso untuk menggantikannya menjadi Anakia di Mekongga.
5. Lamba-Lambasa atau Sangia Rumbalasa
Lamba-lambasa kemudian diangkat menjadi Anakia Mekongga. Ia lalu kawin dengan orang dunia dengan seorang putri yang bernama Wekonengge. Hasil perkawinannya memperanakkan dua orang anak laki-laki bernama Tobenua dan Lombo-lombo yang juga bernama Sabulombo. Mulai pada pemerintahan Lombo-lombo, maka pemerintahan Mekongga dilengkapi dengan jabatan Kapita, Pabitara, dan Sapati yang menjadi Osara I Mekongga.
6. Lombo-Lombo atau Sabulombo
Menurut kisah bahwa lombo-lombo meskipun ia sudah berumur empat tahun, tetapi ubun-ubunnya belum keras. Lombo-lombo artinya ubun-ubun, dari sinilah asal namanya. Pada suatu waktu seorang wanita pengasuhnya yang bernama Inaweduangga mendapat pesan melalui mimpi dari neneknya Wasasi Wasabenggali yang menyatakan bahwa putra Bokeo yaitu Lombo-lombo baru akan bertulang ubun-ubunnya kalau ia diupacarakan secara adat Mekongga disebut Sinosambakai. Menurut kisah bahwa sesudah Sinosambakai, maka bertulanglah ubun-ubun Lombo-lombo dan ia menjadi seperti orang biasa. Itulah yang menjadi asal mulanya adat di Mekongga, mesosambakai kepada anak pertama. Bagi anak kedua dan seterusnya tidak ada lagi, kecuali hanya do’a selamat.
Setelah Lombo-lombo dewasa, maka ia kawin dengan seorang wanita yang bernama Mawuanese, maka lahirlah seorang putra yang diberi nama Tabutuala yang digelar Sangia Ngginoburu. Sesudah Lamba-lambasa meninggal, maka Lombo-lombo diangkat menjadi Bokeo Mekongga sebelum ia dilantik, maka ia harus kawin dengan seorang putri yaitu anak Buburanda di Latoma yang digelar Sangia i Wowalatoma yang bernama Wungabae. Ketika perkawinan dilangsungkan, maka Sangia i Wowalatoma memberi hadiah anaknya Wungabae suatu daerah yang cukup luas yaitu mulai dari Tumbudadio (Rate-rate) perbatasan Gunung Tamosi sampai dengan Sungai Konaweeha, dengan sendirinya Daerah Mekongga menjadi luas. hasil perkawinan dengan Wungabae, lahirlah Wasitau, Teporambe, Puluase/Latonranga, dan Wandudu. Setelah mangkat ia digelar Sangia Sinambakai dan sumber lisan lainnya menyebut Sangia Ndapetoala dan dikuburkan (Niduni) di Gua Watuwulaa Wilayah Kecamatan Wundulako sekarang.
7. Teporambe
Setelah Lombo-lombo meninggal, maka anaknya Teporambe menggantikan menjadi Bokeo. Ia lalu kawin dengan seorang putri yang bernama Wehiuka, yaitu seorang putri dari Sangia Lakarama di Benua. Pada pemerintahan Teporambe ditetapkanlah struktur pemerintahan pada tingkat wilatah atau Toono Motuo yaitu:
Toono Motuo I Puehu (Wundulako)
Toono Motuo I Tikonu (Silea)
Toono Motuo I Sabilambo
Toono Motuo I Lalombaa
Toono Motuo I Lambo (Mowewe)
Toono Motuo I Puundoho (Baula)
Toono Motuo I Poondui
Toono Motuo ini dilengkapi dengan Tolea, Posudo, Mbuowai (mbuakoi dengan Mbusehe), Tamalaki, Otadu dan Tusawuta. Dari hasil perkawinan Teporambe dan Wehiuka, lahirlah Lelemala (Laduma). Pada masa pemerintahan Teporambe, agama Islam masuk ke Mekongga dibawa oleh seorang utusan dari Datu Luwu, diperkirakan pada masa pemerintaan Datu Pati Arase yang bergelar Petta LatindroE di Pattinrang ± akhir abad ke XVI, namun tidak sempat mengislamkan Bokeo Teporambe.
Teporambe sendiri tidak Islam, anaknyalah yang masuk Islam. Ketika Teporambe mangkat ia digelari Sangia Nilulo. Munurut kisah bahwa yang dikenal, baik di Mekongga maupun di Konawe, bahwa katika Teporambe akan dilantik atas kemauan orang banyak, maka Buburanda mengirim suatu utusan dengan membawa pesan dan amanah untuk Teporambe cucunya. Dalam pesan itu neneknya mengharapkan agar Teporambe yang nama aslinya Puluase diganti menjadi Teporambe kalau ia sudah menjadi Raja Mekongga. Nama itu adalah untuk memperingati peristiwa pendekatan atau perhubungan yang jauh menjadi dekat kembali. Gelar bokeo (Mbuiwoi) sudah ada sejak Lombo-Lombo.
Teporambe mengubah strategi pendekatan dalam melawan kerjaan Konawe melalui perkawinan politik dengan putri Raja Latoma bernama Bungabae (penguasa Kerjaan Konawe kawasan Barat), sehingga dari perkawinan ini Konawe memberikan hadiah perluasan wilayah kepada Teporambe, meliputi: Sanggona, Poraboa, Ulesi, Alaaha, Puuraa, sampai dengan perbatasan Singgerek dan semua kampung tua yang terletak di hulu Sungai Ameroro yang bermuara ke Sungai Konaweeha, seperti: Singgere, Tanggobu, Tamasi, Ambopa, termasuk Mowewe, Lasolewatu, Tinondo, dan Rate-rate tidak diberikan karena masuk wilayah kekuasaan Raja Asaki/Uepai (penguasan Kerajaan Konawe Kawasan Selatan/Barata Ihana).
Setelah Teporambe kawin dengan putri Raja Latoma bernama Bungabae, kemudian kawin lagi untuk kedua kalinya dengan Weheuka dari Angata/Benua turunan Raja Asaki, sehingga dia diberikan hadiah wilayah lagi oleh Raja Asaki atas persetujuan Raja Konawe (Tebawo) daerah-daerah: Rate-rate, Ladongi, Lambandia, Mowewe, Tirawuta, Singgere, Tonondo, Lasalewatu, Ambopa, dan Tamasi, juga wakobu.
8. Laduma Sangia Nibandera
Setelah Teporambe mangkat, maka anaknya Laduma disetujui orang banyak menjadi Bokeo. Ketika Laduma telah berusia belasan tahun, maka ayahnya Teporambe membawanya untuk menemui neneknya Buburanda yang sudah tua. Karena perkunjungan ini maka Bubundara memberi tanah pada cucunya, tanah di sebelah Barat yang dibatas oleh Teluk Bone, yaitu Tanjung Patikala. Dengan demikian ketika Laduma menjadi Bokeo yang ketiga di Mekongga, maka wilayahnya menjadi luas mulai dari Tamboli hingga batas Singgere di Selatan, dari batas barat hingga sekitar tepi Kali Konaweeha. Laduma adalah raja yang pertama memeluk agama Islam di Mekongga. Untuk memerintah daerah-daerah warisan dari neneknya Buburanda, maka Laduma menempatkan seorang Mokole Kondoeha (Mekongga Utara). Pada zaman pemerintahan Bokeo Laduma, maka terjadilah suatu peperangan antara raja Goa dan raja Bone yaitu Arupalaka. Dalam peperangan itu maka menurut riwayat bahwa Buton atau Wolio, Wuna (Muna) dan Belanda ikut terlibat. Konawe pun ikut pula terlibat dalam peperangan itu, membantu Arupalakka melawan Gowa di suatu pihak. Pada waktu itu Datu Luwu yang bernama Alimuddin, memerangi Belanda, membantu kerajaan Gowa.
Datu Alimuddin akhirnya dapat ditawan oleh Belanda dan diasingkan di Buton, selama dua tahun lamanya. Setelah perjanjian Bongaya untuk mengakhiri perang Gowa ini pada tahun 1667, maka Datu Luwu dibebaskan dan ia kembali ke Luwu. Ternyata kedudukan Datu Luwu sudah diisi oleh orang lain, saudara sepupunya yaitu Patunru (Patundu). Akibatnya timbullah perang saudara memperebutkan tahta kerajaan Luwu.
Mulai saat ini Datu Luwu menempatkan seorang mincarangapa di Lelewawo yang merupakan bagian dari pengaruh Mekongga, yang berkedudukan di Lelewawo yang mendapat persetujuan Bokeo Mekongga. Tugasnya adalah menjadi pengantar kedua kerajaan. Bilamana ada Duta (suro) baik dari Luwu maupun dari Mekongga, yang tidak melalui mincarangapa dan ia dibunuh, maka matinya itu disebut “Mate ndinukarino karambau” dalam bahasa Bugis mate nalejja tedong, yang mempunyai arti mati sia-sia, tanpa ada tuntutan.
Pada masa pemerintahan Bokeo Laduma ia menempatkan seorang Mokole di Kondoeha, yaitu di Lelewawo, sebagai pintu disebelah Barat Mekongga. Dalam bahasa Mekongga disebut Tambo Tepuliano Oleo. Ia diberi kekuasaan penuh yaitu Mondooriako Dowo. Adapun Toono Motuo i Sabilambo adalah petambeanggareano Bokeo, sedang Toono Motuo I Lalombaa adalah Dulumbaaluano Bokeo. Mereka itu adalah orang yang sangat diharapkan oleh Bokeo. Ketika Laduma mangkat, maka ia digelari Sangia Nibandera, karena di ia menerima hadiah bendera dari Luwu. Hubungan dengan Kerajaan Luwu makin akrab, sesudah Laduma masuk Islam.
Pada masa pemerintahan Lombo-Lombo Rakyat Kerajaan Mekongga mulai hidup teratur setelah beberapa lama tidak terurus akibat situasi di dalam negeri kerajaan yang tidak stabil. Lombo-Lombo telah berhasil menyusun kembali struktur pemerintahannya dengan baikyang terdiri dari :
Kepala kerajaan Mekongga disebut Bokeo (buaya) binatang buas yang berkuasa di air. Karena kekuasaannya itulah sehingga mengilhami penyebutan gelar raja di Mekongga. Sebelumnya bergelar Sangia, sebab kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat tidak diketahui asal-usulnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Lombo-Lambo dibantu oleh tiga orang wakil masing-masing: (1) Sapati yang bertugas mengatur orang banyak dan kesejahteraan di semua bidang kehidupan atau sekretaris kerajaan, (2) Kapita adalah Panglima Perang yang mengatur urusan pertahanan keamanan dan kemakmuran kerajaan, (3) Pabitara adalah juru bicara dan memelihara adapt-istiadat, serta benda pusaka kerajaan. (Tamburaka, 2003: 493).
Ketiga jabatan ini telah ada sebelumnya yakni pada masa pemerintahan ayahnya Lamba-Lambasa. Dari perkawinan Teporambe dengan puteri Buburanda, maka Buburanda memberikan hadiah kepada cucu pertamanya, sebagaimana tradisi dalam masyarakat suku Tolaki untuk memberikan tiari Wonua kepada cucunya. Oleh karena tiari tersebut maka Kerajaan Mekongga memiliki wilayah yang sangat luas. Adapun tiari wonua tersebut adalah “Pehanggo, Tawanga, Sanggona, Lasolewatu, Mowewe, Tonggauna dan Puurau (Tamburaka, 2003: 494).
Perluasan wilayah Kerajaan Mekongga, maka Lombo-Lombo membagi Kerajaan Mekongga menjadi empat wilayah dan tujuh Toono Motuo yang diperintah langsung oleh Bokeo. Keempat cabang Wonua tersebut adalah:
Ibukota kerajaan (wilayah khusus) meliputi 7 daerah Tobu Toono Motuo yang diperintah langsung oleh Bokeo (Raja) mulai dari Lanu-Woimendaa sampai ke Tuwonduwo (Laponu-ponu).
Daerah bagian Kondeeha (Mala-Mala) diperintah oleh Mokole Kondeeha mulai dari daerah Woimendaa sampai ke Utara Pakue (Patikala).
Daerah bagian Solewatu (Singgere) diperintah oleh Mokole Tinondo/Singgere mulai dari Mowewe sampai Sanggona.
Daerah bagian Lapai (Watu Mendonga) diperintah oleh Mokole Lapai, mulai dari Uete sampai Tongauna. (Munaser dalam Tamburaka, 2003: 494).
Pembagian wilayah seperti ini maka Sangia Lombo-Lombo dapat mengatur pemerintahannya. Rakyat hidup makmur sehingga kerajaan Mekongga semakin dikenal khususnya dengan kerajaan Konawe karena adanya hubungan persaudaraan. Para Toono Motuo di Mekongga bahwa Teporambe sering mengadakan kunjungan ke Konawe, bahkan pernah tinggal mengikuti keluarga pihak ibunya. Setelah Sangia Lombo-Lombo meninggalkan pemerintahan dilajutkan anaknya yang bernama Teporambe dengan gelar “Bokeo” sebab Teporambe-lah yang dapat mewarisi tahta kerajaan Mekongga (Tamburaka, 2003: 494).


STRUKTUR PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
KERAJAAN MEKONGGA
Bokeo Teporambe kawin dengan seorang puteri yang bernama “Weheuka” salah seorang puteri Sangia Ndudu dari Benua Kerajaan Konawe. Teporambe kembali memperoleh tiara (hadiah) dari kerajaan Konawe seperti ayahnya dulu. Seperti dijelaskan beberapa sumber tertulis maupun lisan bahwa: Pada waktu pelatikan Teporambe sebagai Bokeo Mekongga ke-IV Buburanda kembali menghadiahkan hampir seluruh daerah Latoma kecuali Latoma Inti dan aliran sungai Konaweeha sehingga kerajaan Mekongga memiliki daerah yang kira-kira sama dengan wilayah Kolaka sekarang ini.
Pemberian daerah tersebut ada dua alternatif, disamping karena hubungan kekeluargaan, juga atas keberhasilannya menjadikan pemerintahan sebagai Puutobu Latoma. Sebagaimana dikemukakan oleh informan bahwa sebelumnya Teporambe pernah tinggal di kerajaan Konawe sambil belajar tentang cara-cara pemerintahan di kerajaan Konawe. Setelah Teporambe dilatik, maka segera dia menata struktur pemerintahannya sebagaimana yang ayahnya telah jalankan. Teporambe menetapkan 7 Toono Motuo dari Mekongga inti sebagai dewan kerajaan yang secara bersama-sama merupakan bahan legislatif yang tugasnya antara lain mengangkat dan menurunkan Bokeo (Tamburaka, 2003: 495). Setiap daerah dikepalai oleh seorang Toono Motuo.
Disamping itu dibentuk pula aparat pembantu Toono Motuo yaitu:
Pabitara, bertugas mengawasi pelaksanaan hukum adat, menyelesaikan persoalan-persoalan dan perkara yang terjadi di daerahnya (pembantu Bokeo).
Tolea, bertugas untuk mengurusi bidang perkawinan.
Posudo sebagai perangkat keuangan.
Mbuakoy, sebagai dukun urusan kepercayaan, kesehatan dan pengambilan sumpah, (Mbuoway dan Mbusehe).
Tamalaki sebagai prajurit yang berfungsi ganda, sebagai unsur pembelaan negara dan keamanan, ketertiban masyarakat.
Ponggawa, bergerak dalam urusan pertanian (yang menentukan waktu bercocok tanam, pengerahan tenaga kerja dan pertanian).
Tadu, sebagai ahli Nujum, ahli taktik dan strategi perang (Pingak, 1963: 51).
Struktur atau jabatan pemerintah pusat tidak mengalami perubahan, dengan demikian kerajaan Mekongga selain pemerintahan pusat (Kabinet Kerajaan) juga terdapat pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Toono Motuo yang berkuasa penuh pada suatu daerah dan kampung.
Pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe inilah dibentuk ”Sara Owoseno Wonua” atau undang-undang kerajaan. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka raja dalam menjalankan pemerintahan senantiasa dibatasi oleh undang-undang. Seorang Raja atau Bokeo selalu mendapat pengawasan yang dilakukan oleh Sara Owoseno Wonua, suatu lembaga Legislatif yang merangkap sebagai lembaga Yudikatif, apabila raja melanggar hukum.
Berdasarkan pelimphan wewenang penyelenggaraan pemerintah daerah-daerah dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan di Kerjaan Mekongga adalah secara desentralisasi. Hal ini diketahui bahwa struktur pemerintahan mulai dari pusat sampai daerah-daerah dapat dibentuk. Pemerintahan pusat dilaksanakan oleh Bokeo (raja) bersama para pembantunya yakni: Kapita, Pabitara dan Sapati. Kemudian pemerintah daerah dilaksanakan oleh Puutobu dan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Toono Motuo. Berdasarkan pembagian itu maka jelas setiap daerah berhak menjalankan pemerintahan di daerahnya dan tidak bertentangan dengan pemerintah pusat. Sehingga segala urusan pemerintahan selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada atasannya. Oleh karena itu dalam pemerintah Toono Motuo dibentuk pula perangkat kerja yang menjadi pembantu Toono Motuo sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan lancar.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terselenggara melalui upacara–upacara kenegaraan yang biasanya berkaitan dengan upacara pertanian dan kepercayaan. Bokeo Teporambe sangat menghargai dan selau menyelenggarakan upacara ritual seperti ”Monahu ndu” yang disertai dengan tari-tarian seperti Tari Lulo Ngganda. Sehingga pada saat beliau meninggal diberi gelar Sangia Nilulo. Pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe, Agama Islam mulai masuk di kerajaan Mekongga. Dari data-data tertulis dikemukakan bahwa Agama Islam yang masuk di Mekongga dibawa oleh para pedagang dari Sulawesi Selatan. Namun juga ada utusan dari kerajaan Luwu datang membawa Islam yang besar kemungkinan pada masa pemerintahan Datu Pati Arase. Yang digelar Petta Matinroe ri Pattimang sekitar abad XVI. Walaupun Agma Islam sudah masuk pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe, tetapi sampai beliau meninggal tidak masuk Islam, seperti yang dituturkan oleh beberapa informan. Hal ini dapat diketahui sebab pada saat itu masyarakat masih sering makan babi yang diharamkan bagi Agama Islam.
Dari perkawinan Bokeo Teporambe dengan Weheuka, beliau memperoleh seorang anak laki-laki yang kelak bernama Laduma setelah beliau memeluk Agama Islam. Sejak ia lahir bernama kinokori, setelah dewasa bernama Lelemala dan setelah memeluk Agama Islam bernama Laduma. La berarti seorang laki-laki dan duma berarti Jum’at dalam arti seorang laki-laki yang memeluk Agama Islam pada hari Jum’at. (Tamburaka, 2003: 496).
Atas persetujuan dari orang banyak maka Laduma diangkat menjadi raja dengan Gelar Bokeo menggantikan ayahnya yang sudah meninggal. Wilayah pemerintahannya semakin luas dan penduduk Mekongga semakin banyak sehingga banyak mendiami daerah-daerah kekuasaannya yang sebelumnya belum mempunyai penghuni. Oleh karena wilayah Kerajaan Mekongga sangat luas, maka Bokeo Laduma menempatkan seorang Mokole di Kondeeha yaitu di Lelewawo. Mereka itu adalah orang yang sangat diharapkan oleh Bokeo untuk membantunya dalam menjalankan pemerintahan.
Adapun struktur pemerintahan Bokeo Laduma yang berlaku sampai kerajaan Mekongga mengalami kemunduran adalah:
1) Pemerintahan Pusat Kerajaan, yang terdiri dari:
a) Bokeo adalah Raja
b) Kapita adalah tangan besi Bokeo (Panglima Perang)
c) Pabitara wonua adalah juru bicara kerajaan
d) Sapati adalah yang mengurus bagian umum dan rumah tangga kerajaan (mirip sekretaris negara/menteri dalam negeri).
2) Penguasa wilayah, untuk membantu pemerintah pusat Puu Tobu yang mengepalai satu wilayah terdiri dari beberapa daerah, tugasnya adalah mengatur adat (Osara).
3) Toono Motuo (orang tua) yang dibantu oleh para ketua adat antara lain:
Pabitara, yang mengatur, mengawasi hukum adat, menyelesaikan perkara-perkara dan persoalan dalam daerahnya.
Tolea yang bertugas khusus mengenai soal-soal menyangkut perkawinan, peminangan dan perceraian.
Posudo, yaitu pembantu umum. Posudo berarti penongkat yang bertugas mencukupi apa yang kurang.
Selain dari jabatan-jabatan tersebut di atas, ada pula jabatan lain yang berdiri sendiri, yaitu:
Mbuakoi yaitu dukun, ia bertugas mengurus masalah kepercayaan, kesehatan dan menyumpah raja.
Tamalaki adalah prajurit penjaga keamanan dan pertahanan bilamana kerajaan diserang musuh.
Tadu sebagai ahli Nujum bertugas sebagai pengatur siasat perang. Ia yang menentukan waktu baik untuk berangkat berperang.
Tusawatu (Puwuta) tiang tanah yang mempunyai tugas dalam bidang yang berhubungan dengan pertanian. Tugasnya adalah menentukan musim berladang (bertani) serta memperhatikan jalannya bintang-bintang di langit (Astronom).
Struktur pemerintahan yang telah disusunnya, maka Bokeo Laduma dapat menjalankan pemerintahan kerajaan dengan aman, damai dan sejahtera. Keadaan ini didukung pula oleh rakyatnya yang sangat taat kepada perintah-perintah raja. Pemerintahan dijalankan secara desentralisasi.
Kehidupan Sosial pada Masa Kerajaan Mekongga
Sumber sejarah Sulawesi Tenggara diungkapkan dalam lontarak bahwa pada masa Sawerigading terdapat empat kerajaan, yaitu: Kerajaan Luwu, Kerajaan Cina, Kerajaan Tompo Tikka, dan Kerajaan Wadeng. Kerajaan Luwu berpusat di sekitar Danau Matana, Kerajaan Cina di Bone/Wajo dan Kerajaan Tompo Tikka terdapat di Sulawesi Tenggara dalam hal ini Kerajaan Mekongga dan Kerajaan Wadeng adalah Kerajaan Konawe. Berdasarkan ungkapan Bahasa Bugis Tompo Tikka artinya wilayah Tomporeng Kesso=wilayah tempat terbitnya matahari di sebelah timur. Wilayah Sulawesi Tenggara bagi orang Bugis dikenal dengan nama Tana Lau= negeri di sebelah timur. Bagi pelaut Bugis menyebut Mekongga dengan nama Mengkokaa.
Berdirinya kerajaan-kerajaan tradisional di wilayah Kolaka ini berawal dari kedatangan Rongo Patambulo=rombongan yang beranggotakan 40 orang. Mereka berjalan kaki dari wilayah Konawe ke Rahambuu sekarang berada di wilayah Kecamatan Batu Putih. Sesampai di tempat ini mereka mendirikan rumah dengan 88 buah tiangnya untuk dihuni oleh 40 orang yang terdiri atas 8 kelompok yang diberi gelar Mokole Miaso. Mereka kemudian membentuk 5 Mokole, yaitu:
Mokole Masiku (sekarang berkolasi di wilayah Kecamatan Batu Putih)
Mokole Watunohu (sekarang berkolasi di wilayah Kecamatan Ngapa)
Mokole Kodeoha (sekarang berkolasi di wilayah Kecamatan Kodeoha)
Mokole Lelewawo (sekarang berkolasi di wilayah Kecamatan Batu Putih)
Mokole Latowu. (sekarang berkolasi di wilayah Kecamatan Batu Putih)
Sumber lain menyatakan bahwa pada masa awal terdapat 4 kerajaan kecil, yang kemudian dikenal dengan patampanua (empat negeri/kampung), yaitu:
Mokole Kodeoha
Mokole Watunohu
Mokole Lelewawo
Mokole Latowu.
Dalam wilayah Mokole Kodeoha telah memerintah sebanyak 27 Mokole, dan Mokole terakhir bernama Suma. Salah seorang diantara Mokole Kodeoha berasal dari Luwu yaitu Opu To Mattangkilang yang diutus oleh Datu Luwu Andi Jemma, namun tidak lama memerintah karena tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah Pusat (Datu Luwu).
Temuan arkeologis menunjukkab bahwa di Kerjaan Mekongga pernah dibangun sebuah benteng terbuat dari tanah (tumpukan tanah) yang terletak di Desa Bende . Kecamatan Wundulako. Dari hasil artepak yang ditemukan di situs benteng dan sekitarnya ditemukan alat-alat persenjataan, mata uang dan wadah keramik. Benda-benda tersebut tersimpan di rumah penemunya yang merupakan keturunan dari Latoranga di Kecamatan Wundulako Kabupaten Kolaka. Analisis awal yang tampak dari benda-benda tersebut, baik bentuk, fungsi, bahan, motif hiasan, dan aksara yang tampak pada bendanya, diperkirakan sejarah kuno komunitas Mekongga belangganan antara abad XVII-XIXM. Hal ini diperkuat juga adanya temuan keramik Cina dari Dinasti Ching dan keramik Eropa abad 18-19 (Anonim, 2007: 33).
Nama Desa Bende merupakan upaya pelestarian budaya secara alamiah yang dilakukan oleh masyarakat sebagai tempat penemuan benteng ini, karena kata bende dalam Bahasa Mekongga berarti benteng. Nama tempat ini selalu mengingatkan masyarakat akan arti dan makna histories yang ada di di daerah itu yaitu adanya benteng yang telah dibangun untuk menjadi tempat pertahanan Kerjaan Mekongga melawan ancaman dari luar. Salah satu ancaman yang sering diungkapkan secara lisan oleh masyarakat pada zaman kerjaan dulu adalah petualangan bajak-bajak laut Tobelo.
Jenis benteng dari tanah ditemukan di bebera tempat di Sulawesi, misalnya: di Makassar, Gowa, Takalar (Benteng Gattarang), Selayar (Benteng Buki), Bone (Benteng Cenrana), Wajo (Benteng Tosora), Pinrang, Barru, Soppeng, Luwu (Benteng Babuta dan Benteng Wotu), di Muna, Buton, dan Kolaka (Anonim, 2007: 35). Pendirian benteng tersebut dibangun sebagai tempat berlindung saat berperang antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya, juga sebagai pusat pengendalian suatu kerjaan atau pemukiman pusat kerjaan dimana istana raja dan bangsawan berada.
Hubungan Kerajaan Mekongga dengan Kerajaan Tetangga
Setelah terbentuknya Kerajaan Mekongga, pusat pemerintahannya berkedudukan di Kowioha atau Wundulako sekitar 13 km dari Kota Kolaka sekarang ini. Pada tahun 1906 ibu kota Kerajaan Mekongga pindah ke Kolaka, dan Bokeo yang memerintah pada saat itu Bokeo Latambaga hingga tahun 1932.
Hubungan Kerajaan Mekongga dengan tetangganya adalah kerajaan Konawe, Kesultanan Buton, Kerjaan Muna, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Moronene. Hubungan dengan kerajaan lain di luar Jazirah Tenggara terutama dengan Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone. Dari beberapa sumber yang ada menyatakan bahwa asal usul kedatangan Orang Tolaki (Konawe) dan Orang Mekongga berasal dari arah utara pedalaman sekitar danau Matano dan Mahalona (Anonim. 1982, 1977). Dalam tradisi Orang Tolaki dinyatakan bahwa Suku Tolaki kemudian terbagi atas Orang Tolaki Konawe (Tololaki= sebutan oleh Orang Bugis dan Buton) untuk masyarakat Kerajaan Konawe (sekarang Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Konawe Utara) dan Orang Mekongga (Mengkokaa= sebutan oleh Orang Bugis) untuk masyarakat Mekongga (sekarang Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara), mereka berasal dari satu rumpun suku bangsa yang kemudian dikenal dengan nama Orang Mekongga.
Rombongan lain mengikuti lereng Gunung Watukila lalu membelok ke barat daya akhirnya tiba di suatu tempat yang bernama Unenapo, Lambo, Wolo, Puehau, dan Wunggolaka yang selanjutnya berkembang dan diberi nama sekarang Orang Mekongga (Laporan Badan Litbang Agama, Balai Penelitian Lektur Keagamaan Ujung Pandang, 1986/87). Sampai sekarang ada pendapat bahwa asal usul Orang Mekongga berasal dari sekitar danau Matano Malili Kabupaten Luwu yang berpindah ke arah selatan melalui sungai yang terkenal di daerah Sulawesi Tenggara, yakni sungai Konaweha. Sungai Konaweha merupakan sungai terpanjang dan terbesar di Sulawesi Tenggara, hulunya berada di daerah Kabupaten Kolaka di kaki gunung Mekongga dan bermuara di daerah Kabupaten Konawe. Perpindahan secara besar-besaran penduduk dari daerah danau Matano terutama setelah tumbangnya pohon Welande (istilah Tolaki) dan Welandrangnge (istilah Bugis) di zaman Sawerigading sekitar abad ke XIII dan XIV.
Cerita Sawerigading sangat dikenal baik di daerah ini (Kolaka dan Konawe). Dalam tradisi lisan bahwa sejak itu datanglah seorang laki-laki bernama Larumbalangi yang berasal dari daerah Luwu yang kemudian berhasil mempersatukan penduduk Unenapo menjadi satu kerajaan, yakni Kerajaan Mekongga. Bersama dia datang pula seorang putri, digelar Wekoila saudara Larumbalangi yang hendak dikawininya, tetapi tak dibenarkan oleh adat Kerajaan Luwu yang dikenal dengan nama asli TENRIRAWE, ia juga mendirikan kerajaan Konawe (Kendari) yang memiliki kebudayaan tersendiri.
Danau Matano dalam peta pulau Sulawesi terletak di sekitar danau Towuti kewedanaan Malili, kerajaan Luwu pada masa itu mereka melalui dua jalur, yakni kelompok pertama melalui daerah Mori Bungku, terus memasuki bagian timur laut daratan Sulawesi Tenggara dan ada yang melalui danau Towuti kea rah selatan dan tinggal beberapa lama di Rahambuu. Kelompok kedua mengikuti lereng gunung Watukila, lalu membelok ke barat daya dan sampailah di tempat-tempat yang dinamakan, Ulunggoloka, Kodeoha, Wolo, dan Puehu yang kemudian menjadi masyarakat Mekongga. Kelompok lain mengikuti kali besar (istilah Tolaki Konaweeha) dan berdomisili di suatu tempat yang disebut Andolaki.
Kelompok inilah yang melanjutkan perjalanan mengikuti kali besar (Konaweeha) mendesak penduduk lama, yakni orang Moronene yang menurut penyelidikan para ahli dikenal sebagai orang Tokia Toaere di Poli-polia wilayah Kecamatan Lambandia Mekongga, dan akhirnya tibalah mereka di suatu daratan rendah yang kelak disebut Unaaha (padang luas). Pimpinan mereka namanya Larumbesi atau lebih dikenal Tonggolowuta. Dari Unaaha terpencarlah mereka mencari tempat-tempat untuk berladang, berburu, dan sebagainya yang kemudian berkembang keturunan mereka. Pimpinan mereka adalah datuk-datuk yang dipanggil PUE dan dari beberapa kelompok yang berdekatan dipimpin pula oleh seorang sesepuh yang diberi gelar Mokole (raja). Dari beberapa generasi kemudian berkembang menjadi berberapa persekutuan hidup berupa masyarakat Tolaki yang dipimpin oleh Mokole masing-masing, antara lain: Mokole Padangguni, Mokole Wawolesea,dan Mokole Besulutu.
Keturunan dari Bokeo Padangguni muncul seorang pemimpin (raja) yang diberi gelar Totongano Wonua (penguasa di pusat negeri). Totongano Wonua berjuang mempersatukan negeri-negeri disekitarnya dibawah pimpinan para Mokole mereka yang berkedudukan di Unaaha. Berdasarkan tradisi orang Tolaki bahwa pada masa itu tibalah di Unaaha seorang putri dari kerajaan Luwu bernama Wetenriabeng (saudara kembar Sawerigading) orang Tolaki diberi nama Wekoila, ia diperistrikan oleh Ramandalangi dan diberi gelar Langgai Moriana (putra Totongano Wonua). Kemudian diangkat (dinobatkan) menjadi Mokole (raja) More (wanita) kerajaan Konawe pada abad ke 10, setelah Sri Ratu Wekoila menjadi Mokole Konawe yang pertama (Abd-Hamid, 2006: 6).
Dari manakah asal mula orang Mekongga dan kapankah mereka bermukim di daerah Sulawesi Tenggara ini, belum dapat kita ketahui secara pasti, walaupun kita bisa membuat suatu dugaan. Untuk hal itu saya menggunakan empat buah cerita rakyat, yakni: (1) Oheo, yang menceritakan bahwa orang pertama nenek moyang suku bangsa Tolaki berasal dari pulau Jawa, khususnya dari daerah kaki gunung Arjuna, kemudian kawin dengan Anawai Ngguluri, salah seorang dari tujuh gadis bidadari bersaudara yang berasal dari langit; (2) Pasa’eno, yang menceritakan bahwa ia adalah putra dari Wesande, seorang wanita tanpa suami yang hamil karena minum air yang tertampung pada daun ketika ia memotong pandan di hutan rimba di pegunungan hulu Sungai Mowewe (Kruijt, 1920: 694; van der Klift, 1925: 68); (3) Wekoila dan Larumbalangi, yang menceritakan tentang dua orang bersaudara kandung wanita-pria yang turun dari langit dengan menumpang pada sehelai sarung (Treffers, 1914: 203; Kruijt, 1921: 962); (4) Onggabo, yang menceritakan tentang seorang laki-laki raksasa yang berasal dari sebelah timur melalui Sungai Konaweeha, datang ke Olo-Oloho ibu kota pertama kerajaan Konawe, dan kawin dengan Elu, cucu Wekoila.
Hasil analisa yang akan lebih mendekati kebenaran mengenai bahasan-bahasan tersebut, secara objektif hanya dapat dicapai apabila dilakukan penelitian kerja sama dengan para ahli linguistik, filologi, dan arkeologi. Namun demikian, untuk sementara saya menduga bahwa Orang Konawe dan Orang Mekongga datang ke wilayah daratan Sulawesi Tenggara ini dari arah utara dan timur. Mungkin mereka yang datang dari arah utara itu berasal dari Tiongkok Selatan yang melalui Pilipina Kepulauan Mindanao, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Sulawesi bagian timur, terus memasuki muara sungai Lasolo atau Konawe’eha dan akhirnya memilih lokasi pemukiman pertama di hulu sungai itu, yakni pada suatu lembah yang luas, yang dinamakan Andolaki (Sarasin, 1905: 374; Kruijt, 1920: 428). Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari langit). Mungkinkah yang dimaksudkan di sini dengan istilah “langit” adalah kerajaan langit, yakni Cina seperti yang dimaksudkan oleh M. Granat (Nsaha, 1973: 53). Kalau demikian, maka mungkinkah kata hiu yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dihubungkan dengan kata heo (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”. Mereka yang datang dari arah selatan mungkin berasal dari Pulau Jawa melalui Buton dan Muna dan memasuki muara sungai Konawe’eha dan terus memilih lokasi pemukiman di Toreo, di Landono, dan di Besulutu.
Menurut sumber lisan bahwa Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga masing-masing didirikan oleh dua orang bersaudara kakak-adik, yakni Wekoila dan Larumbalangi. Pusat Kerajaan Konawe mula-mula berlokasi di Olo-Oloho di pinggir Sungai Konaweeha di Desa Uepai sekarang, kemudian pidah ke Unaaha. Adapun Kerajaan Mekongga berpusat di Wundulako. Mula-mula raja disebut Anakia, artinya bangsawan, selanjutnya jabatannya disebut Bokeo. Kerajaan Konawe pernah tenggelam karena wabah penyakit yang digambarkan sebagai keganasan biawak raksasa dan kerbau yang berkepala dua, yang menghabiskan manusia di Konawe, demikian juga kekalutan dalam Kerajaan Mekongga digambarkan sebagai keganasan burung garuda.
Dalam situasi demikian datanglah Latuanda, seorang dukun dan menyelamatkan penduduk dari wabah yang digambarkan sebagai pembunuh biawak dan kerbau tersebut. Sementara itu, tibalah Onggabo yang mengawini gadis sisa wabah bernama Elu gelar Kambuka Sioropo Korembutano, dan dari perkawinan itu lahirlah putra-putra Onggabo yang keturunannya kemudian meneruskan babat tanah Konawe. Mereka dikenal oleh penutur silsilah raja-raja sebagai nama-nama yang tersusun dengan tata urut sebagai berikut, yakni: Sangia Mbina’uti, Sangia Inato, dan Sangia Nggiboburu. Situasi yang sama terjadi di Mekongga dimana penduduk negeri Mekongga diselamatkan oleh Larumbalangi setelah ia memimpin usaha pemulihan kekalutan yang digambarkan sebagai pembunuhan burung kongga (garuda). Jadilah ia raja pertama Kerajaan Mekongga, dan diteruskan kemudian oleh cucu-cucunya yang berturut-turut bernama Mumualo, Lombo-Lombosa atau Sangia Nilulo, dan Laduma atau Sangia Nibanderai (Kruijt, 1922: 692).
Cerita Konggaaha identik dengan cerita rakyat Larumbalangi, seorang tokoh yang dikisahkan sebagai putra dari kayangan yang turun ke bumi, La = laki-laki, rumba = jatuh/turun/terobos; langi = langit. Jadi Larumbalangi artinya laki-laki yang turun atau jatuh dari langit. Beliau dijadikan simbol Orang Mekongga sebagai pahlawan, penyelamat, dan dialah yang berhasil menyusun ide dan strategi membunuh burung Konggaaha, dijadikan sebagai panutan oleh rakyat Unenapo pada waktu itu dan pada akhirnya Larumbalangi dinobatkan menjadi Bokeo Mekongga (Bakri, 2006: 22).
Orang Konawe mendiami Kerajaan Konawe (Wekoila) dan Orang Mekongga mendiami Kerajaan Mekongga (Larumbalangi). Sebelum Orang Mekongga mendiami wilayah Kolaka, maka Suku Moronene yang berasal dari utara atau daratan Asia Timur kemudian menyeberang ke Philipina, kemudian masuk di Sulawesi Utara, selanjutnya menyusur ke selatan akhirnya sampai di Sulawesi bagian Tengah, kemudian bergerak ke selatan dan Tenggara akhirnya sampai di wilayah Mekongga. Orang Mekongga kemudian menyusul masuk ke Kolaka berasal dari rumpun yang sama dapat dilihat dari kajian filologi melalui persamaan suku kata yang digunakan. Alasan bahwa Orang Mekongga berasal dari hulu sungai Mekhong di Asia Tenggara, karena adanya daleka (baba) pada setiap Orang Tolaki. Orang Mekongga masuk ke Kolaka dari danau Matana menempuh dua jalur, yakni: (1) lewat darat melalui pegunungan Watukila, (2) dari Luwu melalui jalur laut menuju Kolaka. Bukti sejarah tidak dapat diingkari bahwa Kerajaan Mekongga pernah menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Luwu, hubungan ini dapat dibandingkan dengan hubungan Kerjaan Turki Usmania dengan Kerajaan-Kerjaan Islam di Dunia pada Zamannya, dimana sultan yang memerintah di suatu kerjaan akan dipandang kuat setelah mendapat pengakuan dari Sultan Turki. Kesepakatan antara Raja Luwu dan Raja Mekongga saat Raja Luwu meminta bantuan dalam menghadapi perang terhadap Belanda dan Perang Melawan Suppa. Salah satu bunyi kesepakatannya adalah sebagai berikut: “susano o Luwu susano Mekongga.
Di daerah Malili tepatnya di Gunung Pongkeru sekitar 10 KM dari ibu kota Desa Karebe terdapat dua makam pertama adalah Raja Mekongga dan lainnya kuburan hartanya yang berjarak antara 5 meter, kuburan tersebut selalu bersih. Demikian juga adanya Sinangke (parang) yang sering ditemukan orang dalam gua, sinangke tersebut adalah milik Raja Mekongga yang dipakai sebagai senjata perang.
Hubungan di bidang pemerintahan berjalan dengan harmonis saling menghargai. Selain di bidang pemerintahan bentuk hubungan yang lain antara Kerajaan Luwu dan Kerajaan Mekongga terjalin melalui perkawinan silang antara Orang Luwu dari Kerajaan Luwu dengan Orang Mekongga dan antara Orang Bugis dari Kerajaan Bone dengan Orang Mekongga dan Orang Luwu. Melalui proses perkawinan silang antara penduduk tiga kerajaan yang bersahabat semakin mempererat hubungan kekerabatan hal ini dapat dilihat dalam penggunaan bahasa sehari-hari, khususnya di wilayah Kolaka Utara penduduk setempat dapat berbicara dalam tiga bahasa, yakni: Bahasa Bugis, Bahasa Luwu, dan Bahasa Mekongga. Proses perkawinan tersebut di atas juga berpengaruh dalam bidang pemerintahan dan tidak terjadi diskriminasi dalam posisi politik antara penduduk keturunan dan pendudukan asli dimana banyak keturunan Luwu-Mekongga-Bugis yang menduduki jabatan strategis dalam struktur pemerintahan di Kerajaan Mekongga. Penduduk Kerajaan Mekongga memiliki sikap terbuka dan akomodatif, sementara para pendatang sangat menghargai budaya setempat, sehingga dapat terjalin proses adaptasi baik dari segi budaya maupun tali perkawinan yang berlangsung hingga saat ini.
Hubungan dengan Mekongga dan kerajaan-kerajaan tetangganya berlaku dalam kata Bahasa Bugis, terutama di Kerajaan Luwu yang berkata Poadei ademu, bicarai bicaramu dan dalam Bahasa Tolaki yaitu: Wowali saramu kiwowaiito Inesaramami artinya laksanakan adatmu sendiri dan pergunakan bahasamu sendiri. Jelas bahwa setiap kerajaan itu, tidak saling mencampuri urusan dalam kerajaan lain. Tak dapat pula disangkal bahwa hubungan antara kerajaan-kerajaan tetangga ini adalah akibat karena kawin antara mereka sebagai suatu alat pendekatan hidup berdampingan dengan aman dan damai. Dalam perkembangan selanjutnya atas kesepakatan bersama sehingga Kerajaan Luwu menempatkan perwakilan diplomatiknya di Kerajaan Mekongga, namun dalam perkembangan selanjutnya juga berperan sebagai Duta Besar yang mengurus kepentingan politik Kerjaan Luwu di Kerajaan Mekongga. Perwkilan itu disebut Mincara Ngapa (Sullewatang Ngapa). Tercatat sejak tahun 1907 ketika Hindia Belanda menguasai Mekongga telah ada Sullewatang Ngapa yang berkeudukan di Kolaka dan berturut-turut yang pernah menjabat sebagai Sullewatang Ngapa adalah: (1) Andi Malla Opu Toparelleseng, (2) Andi Makkasau Petta Roppo, dan (3) Andi Kasim.
Pada waktu Belanda menduduki Daerah Kerajaan Mekongga, maka nama diplomat Luwu adalah Sulewatang Ngapa, yang berarti (Sulle = ganti, dan watang = tubuh) jadi berarti pengganti diri dari Datu. Kata Ngapa berarti tanah yang berada di sepanjang pantai laut Kerajaan Luwu. Pada tahun 1908 ketika Belanda menguasai Daerah ini, maka satu wilayah di Kolaka yang disebut Patampanue, mulai dari batas sungai PakuE sampai tanjung Patikala, diserahkan pada Malili. Ketika Datu Luwu yang baru dilantik yaitu Andi Patiware Jemma di Luwu yaitu ke-36 Kerajaan Luwu. Pada tahun 1935 maka wilayah itu kembali kepada Kolaka, hingga sekarang ini. dengan demikian wilayah Kolaka menjadi utuh kembali. Menurut tradisi di Mekongga dan Luwu bahwa jikalau Datu Luwu hendak datang ke Mekongga maka terlebih dahulu harus singgah di Lelelwawo, karena di tempat itu ada sebuah batu, yang ada taoak kaki. Sebelum Datu Luwu meneruskan perjalanan, maka terlebih dahulu ia menginjakkan kakinya pada telapak kaki yang ada pada batu itu. Bilamana hal ini dilangkahi maka akan terjadi tulah. Ada suatu kalimat yang menarik yang sering diucapkan oleh orang-orang di Mekongga ialah “Susano O Luwu Susano Mekongga” arinya susahnya Luwu adalah susahnya Mekongga. Datu Luwu diakui sebagai Raja yang mulia diantara raja-raja karena ialah yang tertua. Tentu hal itu tidak terlepas dari asalusul raja-raja di Mekongga yang dimulai dengan Larumbalangi (Larumpalangi).
Sejak awal sering Raja Mekongga mengunjungi/menjenguk Datu Luwu sebagai tanda persaudaraan dengan membawa Ambahi Sorume (Tikar Alemmi), madu, ayamputih dan lain-lain. bawaan ini adalah sebagai tanda persaudaraan yang disebut “Kesusurino Datu”. Diriwayatkan bahwa bilamana orang-orang Mekongga mengunjungi Datu Luwu maka orang Mekongga tidak terikat dengan adat Luwu, mereka boleh duduk bebas untuk menghormati Datu Luwu. Untuk membalas bingkisan raja di Mekongga maka dibingkiskan pula barang-barang berharga. Bilamana utusan akan kembali maka rombongan Mekongga terlebih dahulu membersihkan kolam mesjid di Palopo dan mengisinya sampai penuh. Ini berlaku pada zaman pemerintahan Laduma Sangia Nibandera.
Tokoh legendaris Sawerigading merupakan sosok manusia yang luar biasa bagi berbagai kalangan masyarakat di Sulawesi Tenggara. Secara faktual diakui keberadaannya oleh minimal empat daerah/kerajaan di wilayah Sulawesi Tenggara, bahkan ditempatkan sebagai sosok manusia yang memiliki kelebihan dan kepemimpinan yang luar biasa sehingga kehadirannya mendapat sambutan bagi masyarakat. Kedatangannya disimbolkan sebagai manusia penyelamat, ketika kondisi sosial politik dalam situasi yang tidak menguntungkan, sehingga kedatangannya bagaikan juru selamat bagi masyarakat setempat.
Bagi masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), dan Wolio (Buton) percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau gading, atau emas dan warna kuning lainnya. Makna bambu sebagai peralatan hidup dan tempat tinggal, atau gading berarti kuning dan juga menunjukkan kemuliaan, sehingga pengikut Sawerigading dianggap memiliki sifat-sifat yang mulia, seperti suka menolong, dan dapat menganyomi masyarakat.
Sawerigading atau pengikutnya selalu muncul dalam situasi politik dan sosial yang tidak kondusif, sehingga kedatangannya yang memiliki kelebihan baik dari segi wawasan, pengetahuan dan pengalaman atau diplomasi maupun dalam strategi politik dan pertahanan/keamanan dibandingkan dengan penduduk setempat. Berbekal kemampuan tersebut, ia dapat mengendalikan situasi politik dan sosial di daerah perantauan, akhirnya menimbulkan kepercayaan dan simpati dari masyarakat setempat untuk memberinya amanat menjadi pemimpin mereka.
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri Tomporekkesso) merupakan perjalanan politik dan diplomasi untuk kebesaran dan kemasyhuran Kerajaan Luwu dan Orang Bugis, serta persebaran Suku Bajo di daerah-daerah perantauannya. Pengakuan Suku Bajo yang tersebar di kawasan Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Sulawesi Selatan (Ussuk Luwu). Meskipun ada anggapan bahwa Bajo tetap Bajo, artinya bagaimanapun mereka akan tetap berada di laut, tetapi seiring dengan pelayaran orang Bugis, maka ikut pula orang-orang Bajo. Tetapi secara faktual bahwa orang Bugis yang umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis dan proses interaksi lebih fleksibel kepada kelompok lain, lebih mudah bersosialisasi dan beradaptasi. Keberadaannya yang memiliki kelebihan finansial dan wawawan ilmu pengetahuan, sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu, penerimaan bukan sekedar diakui eksistensi keberadaannya sebagai individu yang memiliki hak untuk hidup sejajar dengan anggota kelompok masyarakat setempat, tetapi tidak sedikit dari para pelayar dan perantau Bugis ini dapat ditokohkan oleh penduduk di rantau dan diminta sebagai raja atau pengawal pribadi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus meraih sukses, maka konsep “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian), memegang peranan penting dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri rantau.
Akibat perjalanan politik dan diplomasi Sawerigading bersama keluarga Raja Luwu ke dunia timur, menyisahkan minimal empat fakta historis yang masih bertahan sampai saat ini: (1) berkembangnya tradisi lisan tentang raja pertama dan turunan raja-raja di kawasan ini berasal dari keluarga Sawerigading atau dari Kerajaan Luwu, (2) persebaran suku Bajo di kawasan ini yang mengakui secara lisan dan tulisan (lontarak Bajo) yang menyatakan nenek moyang mereka berasal dari Ussuk Luwu, (3) berkembangnya pelayaran dan pemukiman orang Bugis dan Bajo di kawasan ini dengan tidak menimbulkan konflik diantara kelompok-kelompok etnis setempat, (4) ditemukannya bukti baik lisan maupun tulisan dan visual tentang peninggalan Sawerigading di daerah ini seperti: cerita, nyanyian, seni sastra, dan tempat tertentu.
Nama atau istilah Sawerigading dalam tinjauan bahasa Bugis, berasal dari dua suku kata. Kata Sawe=berkembang biak; ri=menunjukkan tempat; dan gading=sejenis bambu kuning. Masih dalam versi Bugis gading diartikan sebagai taring gajah atau menjadi kata sifat benda-benda yang berwarna kuning, seperti tebbu gading (tebu yang manis dan berwarna kuning). Dalam arti ini terkandung makna kemuliaan dan kebagusan (Bhurhanuddin, 1981).
Sawerigading juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di bambu atau di gading. Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang keluar dari ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi lisan yang menyatakan bahwa leluhur sawerigading adalah manusia yang berkembang biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh gerak perpindahan dan pelayaran penduduk yang berbahasa Melayu-Polinesia atau Mongoloid dari daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam (Poesponegoro, 1984). Secara faktual bahwa pada awal pemukiman penduduk khususnya orang Bugis di pantai membuat rumah dengan tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai (salimaa) dari bambu, dinding (renring tedde) dari bambu, bagian dari atap dan peralatan bagian atas rumah juga dari bambu.
Jika konsep La Galigo menyebut adanya tiga negeri yaitu: negeri bawah, negeri tengah, dan negeri atas. Maka dapat ditafsirkan bahwa negeri atas adalah Tana Toraja (Bhurhanuddin, 1981), negeri tengah adalah Luwu, dan negeri bawah adalah pemukiman suku laut di perairan Teluk Bone (Ussu dan BajoE) di mana orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara mengakui sebagai asal-usul leluhur mereka.
Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu. Di Sulawesi Tenggara kehadiran Sawerigading selalu dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama juga ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti: Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, Suku Mandar dan suku Massenrempuluk mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari Ussuk, dan kerajaa-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara (Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio) mengakui asal-usul raja-raja mereka berasal dari keluarga Raja Luwu (Sawerigading).
Di Kerajaan Mekongga ditandai dengan kedatangan Larumpalangi yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga pada abad XIII. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan kedatangan Wekoila yang merupaka raja pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad XI. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim, 1982).
Sampai saat ini masih terdapat kecenderungan masyarakat Sulawesi Tenggara merasa bangga memiliki hubungan darah dengan orang Bugis. Gejala itu ditandai dengan pengungkapan leluhur mereka yang memiliki hubungan darah dengan Sawerigading atau bangsawan dari kerajaan-kerajaan di Sulwesi Selatan, dan kecenderungan memiliki rasa bangga jika dapat kawin dengan orang Bugis.
Perjalanan Sawerigading ke dunia timur (sempe’na Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri Tomporekkesso), meninggalkan beberapa bekas termasuk melahirkan cikal-bakal raja-raja di beberap kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Di Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan menyebutkan bahwa raja pertama di Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia disimbolkan sebagai manusia luar biasa yang mampu mengalahkan burung Kongga yang sering memangsa manusia, dikisahkan bahwa menjelang kedatangannya terjadi masalah munculnya burung Kongga yang memangsa bukan hanya manusia tetapi juga binatang. Tradisi Mekongga menyebutkan bahwa Larumbalangi, dari kata La=Laki-laki, rumbalangi=jatuh/rebah atau merebah pohon yang ditebang. Menurut Mekuo (1986) La Rumpalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa Bugis: La Rumpa Langii dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol; langii=langit atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan dengan menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi Tenggara bersama dengan kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe). Jika dihubungkan dengan keberadaan burung Kongga yang besar, maka kedatangan La Rumpalangi dapat membobol langit. Ia melakukan taktik perlawanan dengan menanam bambu-bambu runcing sebagai senjata perangkap untuk menjebak dan membunuh burung kongga, taktik ini berjalan dengan efektif sehingga burung kongga berhasil dilumpuhkan oleh La Rumpalangi.
Masyarakat Mekongga menganggap bahwa La Rumpalangi sebagai juru selamat yang telah menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung kongga. Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman dan La Rumpalangi diangkat menjadi Anakia (raja), mereka menamai kerajaannya dengan Mekongga (sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi setempat mengakui bahwa La Rumpalangi adalah perantau dari Luwu.
Tradisi Mekongga mengungkapkan bahwa La Rumpalangi meninggalkan keris (otobo), sembilan keping emas murni, motia naga (mustika naga), dan bibit padi untuk dikembangbiakkan oleh masyarakat Mekongga (Mekuo, 1986). La Rumpalangi tidak diketahui kepergiannya, dia menghilang begitu saja, sebagian pendapat tradisi lisan menyebutkan beliau ke Konawe dan kawin dengan putri bangsawan Konawe. Tradisi penanaman padi di Sulawesi Tenggara pada dasarnya berasal dari masyarakat Bugis, sehingga sangat mungkin diperkenalkan oleh keluarga raja-raja Luwu atau kerabat Sawerigading.
Kedekatan geografis wilayah Mekongga dengan Kerajaan Luwu menguatkan dugaan akan besarnya pengaruh/kepentingan Kerajaan Luwu terhadap Kehidupan sosial budaya dan politik di Mekongga. Beberapa bukti menunjukkan hal itu, antara lain: sejak abad XVI di Mekongga (Kolaka) di tempatkan perwakilannya dengan gelar Mincara Ngapa, kemudian diubah namanya menjadi Sullewatang Ngapa (Sulle=pengganti; watang=pokok/tubuh; ngapa=negeri/tanah yang berada di sepanjang pantai laut) (Abidin, 1995; Anonim, 1982; Bhurhanuddin, 1978). Pada waktu Belanda menduduki Mekongga tahun 1906, Kolaka menjadi Onderafdeling dalam wilayah Afdeling Luwu dibantu oleh Sullewatang sebagai perwakilan Kerajaan Luwu di Mekongga. Pada masa pendudukan Jepang Sulawesi Tenggara dijadikan Ken Buton dan Laiwoi beribukota Bau-bau meliputi: Bunken Buton, Bunken Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan Bunken Kolaka tetap dalam Ken Luwu, namun tidak lama kemudian sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam Ken Malili yaitu Kolaka Utara. Jabatan swapraja Luwu di Kolaka tetap dipertahankan yaitu Mincara Ngapa yang wilayahnya seluruh Kerajaan Mekongga (Bhurhanuddin, 1979). Berdasarkan PP RIS No. 21 tahun 1950 Wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan dipersatukan menjadi Satu Keresidenan di bawah Propinsi Celebes. Kemudian PP Pengganti UU No. 2 tahun 1964, kemudian disahkan menjadi UU No. 13 tahun 1964 menetapkan Kolaka (sebelumnya wilayah Luwu), swapraja Laiwoi, Muna, dan Buton menjadi Propinsi Sulawesi Tenggara (Abidin, 1995). Daerah Mekongga merupakan tempat pertahanan Datu Luwu yang terakhir tahun 1946, dalam perjuangan melawan NICA bersama-sama dengan pemuda dan rakyat Mekongga.
Hubungan dalam bidang sosial juga terjalin dengan baik melalui perkawinan. Sebagaimana dikisahkan bahwa banyak pedagang-pedagang bugis yang datang ke Konawe kawin dengan putri dari Kerajaan Mekongga. Demikian halnya dengan kerajaan Mekongga terjalin hubungan perkawinan antara putri Sabandara Buburanda (Kepala Daerah Latoma) yang bernama Wungabae kawin dengan Lombo-Lombo Bokeo Mekongga VI. Dari perkawinan itu Buburanda dari Konawe memberi warisan kepada menantunya, sebagian daerah Latoma yakni batas Kerajaan Luwu sampai batas wilayah Mekongga asli. Dari perkawinan ini lahirlah Teporambe. Buburanda menghadiahkan lagi hampir seluruh daerah Latoma inti di aliran Sungai Konaweeha sehingga daerah wilayah Kerajaan Mekongga meliputi Daerah Kabupaten Kolaka sebelum pemekaran.
Masyarakat Kolaka (Orang Mekongga/Mengkokaa) juga terkenal keberaniannya yang direfleksikan dalam ungkapan filosofinya berbunyi:
Toreano Laewo, tadono taawu.
Artinya:
Sisanya ombak, bagiannya sinangke
Ungkapan tersebut diakui dalam Sejarah Luwu yang menggambarkan keberanian masyarakat Mekongga dalam menghadapi bajak-bajak laut termasuk pelayar Bugis dari Luwu, Wajo dan Bone.
Sesaana bombang, tawana sinangke
Artinya:
Sisanya ombak, bagiannya sinangke
Sinangke dalam Bahasa Orang Mekongga disebut Taawu yaitu senjata/parang tradisional Orang Mekongga yang dipakai dalam setiap pertempuran. Ungkapan tersebut bermakna bahwa musuh yang datang harus dihadang dipantai, sehingga mereka akan terombang-ambing oleh gelombang sampai perahu mereka dapat tenggelam, sekiranya perahu mereka tenggelam atau musuh itu berhasil naik dipantai maka harus dilawan dengan senjata sinangke. Didaerah ini ditemukan gua prasejarah di wlayah Kodeoha yang memiliki peninggalan berupa kerangka manusia, cincin emas, sinangke, keramik/piring.
Bagi Masyarakat Mekongga dalam mengembangkan hubungan dengan dunia luar tetap berpegang pada filosofi Kalosara (ikatan aturan adat), dan tertuang dalam ungkapan Meohai, medulu, mepokoaso: bersaudara, berkumpul, dan bersatu.
Mbeka meririako= saling menyanyangi/mengasihi
Mbeka tulungiako= saling membantu/menolong
Mbeka pehawaako= saling mengingatkan/menasehati
Mbeka owoseako= salingmenghormati/menghargai.
Inilah tradisi Orang Mekongga yang tetap dipelihara sampai sekarang, sehingga diharapkan bahwa siapapun yang datang dan tinggal di Wonua Mekongga adalah bersaudara, berkumpul dan bersatu, saling menyayangi, tolong-menolong, saling mengingatkan, saling menghargai, untuk membangun dan menjaga persatuan dan kesatuan demi ketutuhan serta kedamaian Wuta Mekongga (Kabupaten Kolaka).
Keramah-tamaan masyarakat Mekongga, sehingga sering muncul ungkapan dari masyarakat bahwa sekiranya tamu atau pendatang dari seberang laut kemudian sempat mandi atau sempat minum airnya Wonua Mekongga, maka pasti mereka akan lupa negeri asalnya.

2 komentar:

  1. Sekedar koreksi kerajaan Kodeoha dan Mekongga adalah dua daerah otonom wilayah kekuasaanx jelas, Kodeoha patowonua/patampanua wonua lelewawo atau rahambuu wonua latou, wonua watunohu dan wonua Kodeoha tiap wonua di pimpin seorang mokole ( raja ) wilayahx sekarang yg jadi kabupaten Kolaka Utara ,

    BalasHapus